Artikel

Tujuh Harta Para Arya

Kelahiran yang mendorong kita muncul di alam kehidupan sebagai seorang manusia, tentu berdasarkan ajaran Sang Buddha memiliki berbagai akar kebajikan di masa lalu karena di antara begitu banyak makhluk yang mengambil kelahiran di alam samsara ini kita menjadi suatu makhluk yang disebut sebagai manusia. Dan manusia memiliki hal-hal yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk yang lain di antaranya kecakapan untuk melakukan segala hal yang diinginkannya, kebebasan untuk melakukannya, dan secara khusus dalam tradisi Buddhis kita diajarkan bahwa setiap orang Buddhis memiliki 8 macam kebebasan dan 10 macam berkah. Dari keseluruhan itu di antaranya seperti yang kita miliki saat ini yaitu kita memiliki tubuh yang sehat, pikiran yang sehat, memiliki lingkungan sosial yang baik dan segala sesuatu yang sangat menunjang, sangat cocok untuk mempelajari ajaran Sang Buddha yang bertujuan untuk membawa kita mencapai kebahagiaan yang lebih dari yang kita miliki saat ini. Kebahagiaan seperti apakah itu? Tentunya tergantung kepada pemahaman dan kecakapan pikiran kita. Bila kita berpikir bahwa penderitaan kita dalam bentuk hal-hal yang bersifat duniawi, misalnya kita menderita karena perubahan, karena karma-karma buruk, karena lahir tua sakit dan mati dan sebagainya, maka belajar Dharma akan dapat memutuskan penderitaan yang kita takutkan itu. Kemudian bila kita ingin memiliki suatu kelahiran kembali di alam-alam yang lebih baik seperti muncul di berbagai alam para dewa, di berbagai alam brahma, itu juga bisa diraih dengan mempelajari ajaran Sang Buddha. Jadi dengan kata lain bahwa ajaran Sang Buddha akan dapat menuntun ke mana kita menginginkannya karena Sang Buddha mengajarkan begitu luas ajaran-ajaran yang disesuaikan dengan kecakapan dan kapasitas masing-masing makhluk samsara yang memiliki koneksi karma dengan ajaran Sang Buddha atau Dharma.

Jadi tujuan pertama Sang Buddha mengajarkan Dharma adalah untuk menolong kita, Dharma bukan untuk menyulitkan seseorang, bukan untuk memberi beban pada seseorang, bukan untuk memberikan suatu tanggung jawab pada seseorang, tetapi Dharma merupakan bentuk pertolongan yang diberikan oleh setiap Buddha yang setelah mencapai ke-Buddhaannya menceritakan pengalamannya sendiri, berdasarkan apa yang dialaminya sendiri, yang dijalaninya sendiri; kepada kita, kepada manusia yang muncul pada zamannya, dengan demikian pengalaman-pengalaman dari seorang Buddha akan dapat diikuti oleh mereka yang menginginkan kebahagiaan yang sama, apakah bebas dari penderitaan duniawi, bebas dari penderitaan samsara, atau menjadi seorang Buddha seperti yang diraih oleh para Buddha.

Jadi bila Dharma merupakan bentuk pertolongan, kemudian apakah yang merintangi kita dalam mempelajari Dharma? Yang merintangi kita dalam mempelajari Dharma adalah klesha dan avarana kita, dengan kata lain adalah karma-karma buruk kita di masa lalu. Oleh karena kita telah terbiasa dengan pancaindra kita, dengan kesenangan-kesenangan indriawi kita, dengan kegiatan-kegiatan indriawi kita seperti melihat, mendengar, merasakan dengan lidah, merasakan dengan sentuhan, berpikir mengenai banyak hal, dan itu merupakan bentuk lain dari kebodohan atau yang disebut oleh Sang Buddha sebagai mahamoha, maka sepanjang hidup kita di masa lalu juga sekarang, halangan terberat bagi kita adalah melepaskan diri dari berbagai macam hal melalui pintu indriawi kita dan membiasakan diri dengan praktik Dharma.

Para Guru di masa lalu mengumpamakan dunia ini seperti sesuatu yang gelap gulita, Sang Buddha menyebutnya sebagai diliputi oleh kegelapan. Bukannya di dunia tidak ada cahaya dan matahari, bukannya di dunia ini tidak ada penerangan, tetapi secara mental kita diliputi oleh kebodohan atau kegelapan batin sehingga kita tidak melihat kebenaran sebagai suatu kebenaran, sesuatu yang berguna sebagai sesuatu yang berguna, tetapi kita melihat sesuatu yang tidak benar dan sesuatu yang tidak berguna sebagai sesuatu yang benar dan berguna. Ini yang disebut dunia diselubungi oleh kebodohan. Para Guru mengumpamakan sama seperti orang buta yang kemudian jatuh ke dalam kolam yang sangat dalam, kemudian orang buta itu berkeliling di pinggir kolam mencari pintu keluar atau tangga naik ke atas, memegang setiap jengkal dinding kolam sambil berkeluh kesah meminta pertolongan, itu sama seperti yang kita alami dalam hidup sebagai manusia. Jadi dalam perumpamaan ini diceritakan orang buta itu meraba setiap bagian dari kolam sambil berteriak menginginkan pertolongan, kemudian ada orang dari atas melihat dan melemparkan tali ke bawah sambil berkata: “Mari saya tolong, pegang tali ini erat-erat, nanti akan saya tarik dan kamu akan bebas dari dalam kolam.” Kemudian orang buta tersebut bertanya kepada yang menolong “Anda siapa? Anda dari mana? Mengapa mau menolong saya? Apa tujuan Anda menolong saya?” dan sebagainya, sehingga yang menolong menjadi jengkel dan akhirnya melepaskan talinya dan pergi. Dalam kehidupan manusia, kita berpindah dari suatu dinding ke dinding yang lain, kita pindah dari memegang kejadian hidup yang ini ke yang lain, dari masalah ini pindah ke masalah yang lain, dan setiap persoalan yang kita hadapi terus berganti-ganti dan ujung-ujungnya kita mengeluhkan segala hal yang terjadi pada kehidupan duniawi kita. Kita mengeluhkan masalah sosial kita, masalah keluarga kita, masalah kesehatan, masalah ekonomi, sampai akhirnya kita mengeluhkan mengenai kehidupan itu sendiri.

Para Buddha yang datang di masa lalu sebetulnya sudah pernah bertemu kita, jadi di zaman dulu kita sudah bertemu dengan para Buddha dan para Arya, tetapi karena kita asyik dengan pikiran dan diri kita sendiri maka para Buddha tersebut satu-persatu berlalu dan kita tidak memperoleh manfaat apa pun dari kehadirannya, sama seperti penolong tadi yang datang dan mengulurkan talinya dan meminta orang buta untuk memegang ujung talinya dan orang buta itu memegang tetapi bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang banyak sekali hingga akhirnya tali tersebut dilepaskan dan dia pergi. Oleh karena kehidupan kita sudah tidak terhingga, para Guru India dan Tibet mengatakan, mungkin sekali di masa lalu kita sudah bertemu dengan para Buddha, para Bodhisattva, dan Guru-guru, tetapi karena pendekatan kita atau sikap kita sama, yaitu kita asyik dengan diri kita sendiri, para Buddha tersebut sudah lama meninggalkan diri kita dan kita masih berada di dalam samsara. Kemudian seorang Buddha muncul lagi, yang terakhir pada zaman kita ini yaitu Sang Buddha Sakyamuni, dan kita juga masih asyik dengan diri kita sendiri. Kita asyik dengan televisi kita, kita asyik dengan radio, CD, novel, dengan urusan-urusan bisnis dan segala hal yang lain sementara waktu terus berjalan, dan satu-satunya pertolongan dari Para Buddha itu hanya Dharma saja. Buddha tidak membuat diri kita tiba-tiba bebas dari segala klesha dan avarana dengan menyentuh kepala kita kemudian kita menjadi orang yang bebas dari karma-karma masa lalu dan karma-karma buruk, lalu mencapai realisasi, sama sekali tidak, tetapi para Buddha itu menolong dengan cara memberikan Dharma. Itulah benang (tali) yang diberikan oleh semua Buddha, baik yang datang di masa lalu, yang ada di zaman kita maupun di zaman yang akan datang, semua pertolongannya adalah dalam bentuk Dharma. Oleh karena pertolongan itu bersifat sangat halus yaitu dalam bentuk Dharma, maka setiap orang yang menginginkan dirinya mengambil manfaat dari Dharma harus menyingkirkan semua hal yang merintanginya untuk dapat mengadaptasikan Dharma pada dirinya. Salah satu di antaranya adalah kita membiasakan diri untuk terus-menerus mempelajari dan merenungkan ajaran-ajaran Dharma itu sendiri sebelum akhirnya kita dapat mengerti dengan baik dan berusaha untuk menerapkannya di dalam diri kita.

Dari banyak ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha, ada yang disebut sebagai Tujuh Harta Para Arya, itu yang akan kita pelajari hari ini. Banyak Mahaguru India pada zaman dulu seperti Guru Nagarjuna, kemudian Guru Atisha, sangat menekankan kepada para muridnya pentingnya pemahaman terhadap Tujuh Harta atau Tujuh Kekayaan Para Arya ini karena dengan demikian akan memunculkan di dalam diri kita suatu kebenaran mengenai apa sesungguhnya yang disebut Kekayaan Para Arya.

Guru Atisha menyatakan bahwa kekayaan para Arya yang pertama adalah Keyakinan atau Sraddha. Para Arya, yaitu para Bodhisattva, para Pratyeka, para Sravaka, para Buddha, semuanya memiliki keyakinan sebagai bentuk kekayaannya. Mungkin para Bodhisattva secara fisik (duniawi) hidup sebagai seorang pangeran atau mungkin sebagai seorang raja, atau seorang pertapa atau pengembara yang hanya memiliki patra untuk mengumpulkan makanan, atau dia seorang upashaka yang hidup berumah tangga, tetapi harta mereka yang sesungguhnya, yaitu yang pertama adalah keyakinan. Sedangkan harta-harta yang lain tidak termasuk harta para Arya oleh karena tidak bersifat kekal dan abadi. Guru Atisha menyatakan harta para Arya itu tidak dapat habis, juga tidak dapat hilang atau tercuri atau rusak. Dari semua yang dimiliki oleh setiap orang di dunia ini, berdasarkan ajaran Sang Buddha, yang sesungguhnya dimiliki secara nyata dan secara pribadi adalah karmanya. Semua yang tidak dikarmakan atau tidak ditransformasikan menjadi sebuah karma walaupun itu sebuah kerajaan, istana dan berbagai hal yang dimilikinya, belum disebut sebagai karma, dan akan tertinggal di belakang pada saat seseorang meneruskan pengembaraannya di dalam samsara, jadi hanya menjadi peninggalan (sesuatu yang tertinggal). Ini berbeda bila seseorang memiliki keyakinan, bila kita memiliki keyakinan seperti para Arya dan harta keyakinan itu selalu dijaga, dipelihara, diperbesar, diperluas, maka keyakinan itu tidak akan pernah hilang atau habis dan juga tidak akan tertinggal.

Penjelasannya demikian, para Arya memperlakukan keyakinan kepada Sang Triratna, kepada karma, kepada prinsip-prinsip Buddhis, kepada berbagai aspek ajaran Sang Buddha sebagai sebuah harta atau kekayaan. Bila orang biasa ditanya atau mengisi daftar harta kekayaan, maka yang akan diisi adalah banyaknya tanah, deposito, rumah, dan berbagai hal lainnya. Tetapi kalau seorang Arya diberikan daftar isian harta kekayaan, dia pertama-tama akan menulis sraddha karena memang itu kekayaannya. Tidak akan ada kegiatan karma bila orang tidak memiliki sraddha, bila tidak ada karma maka tidak akan ada karmaphala, bila tidak melakukan karma maka seseorang tidak memiliki karmaphala (bila tidak menanam pohon maka orang tidak akan memetik buahnya). Jadi para Arya dengan sraddha atau keyakinannya itu kemudian bersedia, berusaha, meluangkan waktunya, menyesuaikan tubuh, ucapan dan pikirannya untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Misalnya tentang karma, oleh karena para Arya memiliki sraddha atau keyakinan kepada Guru-gurunya, yaitu para Buddha yang ditemui di masa lalu atau masa sekarang, Gurunya berkata “Kebajikan berasal dari kebajikan, ketidakbajikan berasal dari ketidakbajikan,” itu dipegang dalam hati erat-erat sebagai sebuah sraddha. Gurunya (Sang Buddha) berkata “Jangan berbuat kejahatan, lakukan kebajikan, bermeditasilah,” juga disimpan sebagai suatu harta dengan sraddha. Dengan keyakinan terhadap karma di mana karma baik membawa kebahagiaan dan karma buruk membawa penderitaan, ini dimasukkan (diingat) dalam hati, dan seorang Arya akan berusaha hanya bekerja pada bagian yang baik saja. Karena karma yang dilakukannya maka ada karmaphala, oleh karena karma yang dilakukannya itu luar biasa intensif dan besarnya, seperti yang diperagakan oleh Sang Buddha di India di zaman dulu ketika menjadi para Bodhisattva yang berdasarkan cerita Jataka, sebagai seorang Bodhisattva komitmennya terhadap sraddha sungguh tidak dapat dimengerti oleh orang yang hidup di zaman kita.

Kemudian generasi berikutnya seperti Guru Aryasura yang menulis teks tentang 50 slokha berbakti pada Guru, Guru Aryasura menganut Mahayana bukan hanya secara filosofi tetapi juga membuktikan dengan tindakannya. Dikatakan bahwa Guru Aryasura bahkan ketika sudah lanjut usia dan merasa usianya sudah cukup dalam melatih diri, beliau sengaja pergi ke hutan mencari-cari di mana kira-kira ada harimau yang sedang kelaparan, karena dalam hatinya dia berpikir kalau saya meninggal di dalam vihara, di antara teman-teman dan murid-murid, tubuh saya ini akan tidak berguna, saya ingin mendedikasikan tubuh saya supaya digunakan oleh makhluk lain. Ini terdapat di dalam kisah hidup Guru Aryasura, di mana diceritakan bahwa Guru Aryasura menemukan sekumpulan macan yang sedang lapar dan melemparkan dirinya di hadapan mereka, sehingga macan tersebut bisa makan dengan tanpa usaha (tidak usah berlari-lari mengejar buruan). Ini juga dipraktikkan karena adanya sraddha di dalam dirinya sebagai kekayaan seorang Arya. Saya tidak bermaksud menganjurkan Anda supaya menirunya tetapi ini gambaran bagaimana para Guru di masa lalu itu menerapkan sraddha dengan mengabaikan hal-hal yang menyangkut penderitaan fisik.

Guru Aryadeva berkata, mengapa para Bodhisattva mau mengorbankan fisiknya? Pada saat mereka mengorbankan fisiknya mereka berpikir: sakit yang saya alami ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan sakit yang harus dialami di alam-alam yang lebih rendah karena mereka mengalami sakit tanpa mendapatkan karmaphala yang baik, tetapi sebaliknya penderitaan yang dialami oleh seorang praktisi, mungkin kalau bernamaskara lututnya sedikit lecet, mungkin kalau dia banyak berdoa matanya sedikit merah, mungkin kalau banyak bekerja fisiknya sedikit lelah, atau dalam level-level yang tinggi melemparkan dirinya ke depan binatang buas, semua itu akan mendapatkan akibat karmaphala yang tidak dapat dimengerti, mungkin menjadi seorang cakravarti di kemudian hari. Tetapi apa yang didapat oleh seorang preta misalnya yang setiap hari kelaparan karena karma buruknya, atau makhluk-makluk di alam yang lebih rendah lagi, mereka juga mengalami hal yang sama tetapi tidak memperoleh apa pun juga. Oleh karena pertimbangan itulah para Bodhisattva menempuh prinsip bahwa sedikit melakukan jerih payah tidak menjadi soal karena di kemudian hari banyak hal baik yang akan terjadi pada dirinya.

Itu harta pertama dari para Arya, jadi keyakinan merupakan kekayaan pertama yang harus dimiliki oleh seorang Arya dan itu telah dimiliki oleh para Arya. Walaupun kehidupan kita sekarang sudah sedemikian rupa situasinya, prinsip-prinsip spiritual ini tetap harus diterapkan dalam diri kita, artinya walaupun kita sudah menjadi orang yang berbeda zamannya dengan para Guru di masa lalu, tetapi sebagai seorang praktisi Buddhis kita juga harus tetap memegang sraddha (keyakinan) sebagai harta kita yang pertama. Sedangkan rumah, keluarga, aset properti-properti yang lain, deposito, dan semua kekayaan yang lain, sebagai seorang praktisi semua itu harus dilihat sebagai kekayaan secondary.

Orang selalu bilang sangat sulit menerapkan prinsip spiritual dalam kehidupan sekarang, memang tidak mudah, tetapi dengan pendekatan yang benar, dengan persepsi dan teknik yang benar, hal itu masih dapat dipraktikkan. Sang Buddha menyatakan zaman sekarang merupakan zaman yang disebut Kaliyuga, semua praktik spiritual dalam segala tingkatannya membutuhkan kemauan keras, keberanian dan perjuangan yang berat. Oleh karena itu Rinpoche menyatakan orang yang mempraktikkan Dharma pada zaman sekarang, sutra-sutra menyebut dibandingkan dengan di masa lalu (yang dicontohkan oleh Rinpoche adalah Delapan Sila Mahayana), bila orang mempraktikkan satu saja dari delapan sila Mahayana dibanding dengan seorang bhiksu yang murni vinayanya di zaman Sang Buddha, orang yang mempraktikkan satu sila Mahayana itu lebih unggul. Kenapa demikian? Karena situasinya memang berbeda, sekarang membutuhkan perjuangan yang lebih berat, kemauan yang lebih keras, karena waktu hidup kita terbagi dalam begitu banyak hal. Sudah bukan merupakan rahasia lagi bila bagi kita sangat sulit untuk bernamaskara 3 kali saja, kadang-kadang doa kita sudah pendek masih disingkat lagi, dari teks Cahaya Permata yang panjang disingkat menjadi Perlindungan dan Bodhicitta saja, dari Perlindungan dan Bodhicitta dipadatkan lagi menjadi Om Ah Hum 3 kali (di depan altar hanya Om Ah Hum 3 kali, ini sudah all in, semuanya tergabung di dalamnya), dan setelah itu cukup anjali saja. Ini merupakan suatu contoh bagaimana praktik spiritual membutuhkan perjuangan. Orang dulu tidak dirayu oleh televisi, kita sekarang dirayu oleh acara-acara TV, begitu kita duduk: “Wah hari ini ada kuis apa yah, kayaknya ada film bagus di stasiun ini.” Hari ini mau mulai melafal (Che-it) tapi berpikir: “Hari ini ke vihara atau tidak? Melafal atau tidak? Di pagi hari, mengangkat sila atau tidak?” dan sebagainya. Banyak sekali hal yang dulu tidak ada sekarang menjadi ada, dulu tidak ada yang namanya film dan berbagai hal yang membuat waktu kita 2 jam berlalu, dan sebagainya. Ini sebagai suatu perbedaan situasi di masa lalu dengan zaman sekarang, tetapi ingat karena kesulitannya berbeda maka harganya juga berbeda. Bila zaman dulu para bhiksu yang silanya murni melampaui orang yang menjalankan satu sila Mahayana tetapi sekarang orang yang memegang satu saja (tidak usah delapan), misalnya sila makan setengah hari, itu sudah mengalahkan reputasi dari seorang bhiksu yang murni vinayanya yang jumlahnya 500 sila. Ini menurut Sang Buddha, dan faktanya memang benar demikian.

Jadi ingatan-ingatan yang terus-menerus terhadap prinsip-prinsip spiritual, ajaran-ajaran Sang Buddha, apakah kebajikannya, apakah berlakunya hukum karma, kekuatan Triratna, misalnya setiap kita mengalami sesuatu yang sulit kita ingat kepada Triratna dalam kemampuan seorang Buddha, dalam kebijaksanaan Dharma maupun dalam kecakapan-kecakapan Sangha, ini merupakan bentuk dari sraddha kita. Keinginan-keinginan untuk mengurangi sikap egois, misalnya saya ini seorang yang egois, selalu ingin dihargai, selalu ingin menganggap diri saya lebih unggul dari orang lain, kemudian usaha untuk mengekang dan menghilangkannya merupakan manifestasi dari sraddha. Karena ingat bahwa itu tidak benar, bahwa itu salah menurut ajaran Sang Buddha dan kita menaruh sraddha pada Sang Buddha, sikap-sikap tersebut kemudian hilang. Melihat kesempatan yang baik, ada orang yang membutuhkan pertolongan secara duniawi kita berpikir saya tidak mau repot tetapi kemudian kita ingat lagi prinsip-prinsip kebajikan karma. Ada sesuatu yang buruk menimpa kita, misalnya harta kita habis, kita mengalami kesulitan tertentu, kita ingat Dharma Sang Buddha, kebijaksanaan yang semula tidur dalam hati kita kemudian hidup lagi. Kita memandang dengan berbagai sudut pandang dan akhirnya pikiran kita menjadi seperti mendapat energi yang baru, tidak kalut dan bisa menghadapi situasi yang buruk, itu juga bagian lain daripada sraddha. Jadi oleh karena itu, sraddha sangat penting artinya dan ditempatkan sebagai harta para Arya yang pertama, kekayaan para Arya yang paling berharga (nomor satu) karena kalau tidak ada sraddha, kekayaan yang enam lainnya menjadi tidak ada. Karena sraddha inilah bibit atau benih dari semua kekayaan yang lain.

Yang kedua adalah kekayaan Sila. Para Arya mencapai keagungan sedemikian rupa, menjadi Bodhisattva, menjadi Sravaka, Pratyeka, atau menjadi Buddha yang merupakan pelindung satu-satunya bagi seluruh Triloka, itu berangkat dari kekayaan sila. Oleh karena menaruh sraddha maka mengikuti kaidah-kaidah yang dianjurkan sesuai dengan kecakapannya, misalnya seorang upashaka menjadikan kelima sila upashaka menjadi kekayaannya, dan menganggap semua yang lain yang dimilikinya kecuali sila dan sraddha adalah kekayaan yang secondary, yang dibilang tidak penting yah penting karena orang hidup harus memiliki materi yang cukup, dibilang penting yah tidak penting karena dia hanya berguna sepanjang hidup kita di dunia ini saja. Selanjutnya yang berguna adalah praktik spiritualnya, kebajikan yang dikembangkannya, dan kebajikan itu muncul dari sraddha dan sila.

Harta sila yang dimiliki para Arya telah menyebabkannya mencapai berbagai tingkatan realisasi. Bagi para Sravaka, kekayaan sila itulah yang menyebabkan mereka mencapai tingkat Arhat, kemudian bagi para Pratyeka mencapai Pratyeka, bagi Bodhisattva mencapai realisasi Bodhisattva yang sangat tinggi yaitu Bodhisattvabhumi yang kesepuluh, itu karena kekuatan atau harta sila yang dipertahankannya terus-menerus dari kehidupan yang satu ke kehidupan berikutnya. Tidak hanya dalam satu kali kehidupan tetapi dari kehidupan yang satu ke kehidupan yang berikutnya. Contohnya Sang Buddha sendiri, Sang Buddha sejak membangkitkan Bodhicitta (sejak menjadi seorang Mahayana) sampai mencapai Pencerahan, sutra-sutra menyebutkan telah melewati waktu selama tiga mahakalpa. Mengenai kalpa ada berbagai pendapat tentang jumlahnya, tetapi tiga mahakalpa mencakup waktu bermilyar-milyar tahun manusia. Tidak ada orang yang hidup bermilyar-milyar tahun, oleh karena itu yang terjadi adalah dari hidup yang satu mempertahankan silanya, kemudian hidup yang berikutnya mempertahankan silanya, demikian seterusnya sampai menjadi seorang Buddha. Jadi oleh karena bodhicitta atau sila-sila yang lain terbawa dari hidup yang satu ke kehidupan yang lain, itulah sebabnya dia menjadi kekayaan yang tidak tertinggal manakala kita sudah berganti tubuh, berganti keluarga, berganti alam kehidupan dan seterusnya.

Sama dengan sraddha atau keyakinan tadi, bila kita sangat kuat sebagai seorang Buddhis, memiliki penghargaan yang tinggi kepada Sang Buddha, Dharma dan Sangha, kita menaruh penghargaan yang tinggi terhadap prinsip-prinsip Buddhis, ke mana pun kita akan lahir kembali di masa depan (nanti kalau usianya sudah 60-70 tahun kita sudah meninggal dan muncul di lingkungan yang baru), ketika kita melihat tanda-tanda Buddhis apakah vihara, apakah buku Buddhis, bhiksu atau penganut Buddhis, pikiran kita akan hidup lagi, seperti bahan bakar yang mendapat percikan api kita akan menyala lagi menjadi seorang Buddhis, begitu berlanjut terus. Oleh karena itu sraddha tidak akan tertinggal. Berbeda bila kita sraddhanya seperti lampu yang berkedip-kedip (seperti mercu suar misalnya), pada saat-saat moodnya lagi bagus sraddhanya kencang sekali, apinya menyala seperti api tukang las, tetapi ketika moodnya lagi hilang, ketika banyak pesta atau hiburan ke sana kemari atau banyak hal-hal lain, apinya cuma lebih terang dari kunang-kunang. Begitu seterusnya, asalkan pada saat kita meninggal jangan sampai sraddha kita kalah terang dari kunang-kunang karena akan menyebabkan kita tidak akan menjadi orang Buddhis lagi, kita tidak akan bertemu lagi dengan ajaran Buddha, walaupun Sang Buddha sendiri ada di depan kita, kita tidak akan memiliki interest apa pun karena kita tidak memiliki sraddha. Anda jangan sampai berpikir bahwa kalau seseorang bertemu dengan seorang Buddha pasti akan terpesona atau kagum, sama sekali tidak. Anda bisa membaca sutra-sutra bagaimana ada seorang brahmana yang bertemu Sang Buddha kemudian bertanya: “Anda ini koq wajahnya berseri sekali, Anda ini tenang sekali, Guru Anda siapa?” Sang Buddha menjawab: “Guru saya adalah saya sendiri, saya seorang Buddha, saya adalah Guru bagi diri saya sendiri.” Brahmana itu dengan tersenyum berkata: “Semoga yang Anda bilang benar adanya,” dan berlalu begitu saja. Kenapa? Karena tidak memilki sraddha kepada apa yang menjadi manifestasi dari nilai-nilai spiritual Buddhis yaitu realisasi ke-Buddhaan. Masing-masing dari setiap penganut Buddhis pernah mengawali dengan pengalaman yang sederhana misalnya membaca buku Buddhis di rumah kawan, atau bertemu orang Buddhis berbincang tentang Buddhis kemudian ikut, atau dengan tanpa sengaja mendapat kesan positif terhadap hal apa pun dari Buddhis, itu adalah api pemicunya, tetapi bahan bakarnya sebetulnya sudah ada, sudah hidup di dalam dirinya yang terbawa sejak kelahirannya. Itu manfaat dari sraddha.

Kemudian sila, sila merupakan bagian yang lebih mendalam dari sraddha. Kalau sraddha hanya menerapkan cara berpikir, penghargaan dan sebagainya, maka sila sudah sedikit membutuhkan usaha karena ada hal-hal yang harus dijaga dan ada hal-hal yang harus diabaikan, itu adalah sila. Semua level spiritual Buddhis ditandai dengan apa yang harus dijaga dan apa yang harus diabaikan. Bagi seorang upashaka yang harus dijaga adalah Pancasila Buddhis, penjelasannya bisa ditemukan di banyak tulisan, tetapi esensinya adalah mengarahkan agar seorang upashaka sebisa mungkin menjaga kelima silanya itu sebagai wahana kehidupan samsaranya saat ini, jadi lima sila itu betul-betul harus dijaga. Untuk apa? Mengapa saya harus menjaganya? Ini harus dijaga karena inilah yang menjadi sumber segala keluarbiasaan di masa nanti yang tidak dapat diberikan oleh orang-orang yang kita jaga sekarang ini. Kita menjaga mobil, rumah dan tubuh fisik kita begitu bagus, kita menjaga keluarga kita begitu bagus, tetapi bila sila kita tidak dijaga maka masa depan kita menjadi suram karena ini tidak bisa diberikan oleh orang tua kita, tidak bisa diberikan oleh anak kita, oleh para dewa, bahkan Sang Buddha sendiri tidak bisa memberikannya karena tadi sudah dikemukakan bahwa Sang Buddha menolong dengan cara memberi Dharma. Bukan hanya dengan menepuk saja seseorang yang kelakuannya buruk dan silanya hancur lebur lantas berubah menjadi baik, sama sekali bukan begitu tetapi adalah transformasi diri yang harus dilakukan setiap individu yang menginginkannya. Walaupun demikian Sang Buddha memberi toleransi, orang harus jujur pada dirinya dan fair pada kemampuan dirinya sendiri. Bila terlalu berat untuk mengambil kelima sila, carilah yang paling mungkin, kalau yang mungkin adalah sila tidak minum minuman keras karena memang tidak suka minuman keras (tidak enak di lidah) maka angkatlah sila itu dan jaga dengan baik-baik. Jangan nanti sudah komitmen tetapi diajak teman untuk mencoba dan akhirnya ikutan minum maka putuslah silanya. Sudah cuma satu yang dijaga masih juga putus. Jadi Sang Buddha tidak mengharuskan kelima-limanya tetapi dapat memilih yang mana yang paling mungkin. Bila seseorang dengan sembarangan mengikrarkan sesuatu sila di depan Sang Buddha kemudian tidak ada motivasi untuk mempraktikkannya, konsekuensinya dia dianggap berdusta di hadapan seorang Buddha. Kalau berdusta di depan pacar atau orang tua masih bisa dimaklumi dan dimaafkan, tapi kalau berdusta di hadapan seorang Buddha itu menjadi masalah pribadi, apa yang kita lakukan itulah karma yang akan kita terima. Kalau kita berdusta kepada orang biasa, sama halnya dengan berdana kepada orang biasa pahalanya juga biasa, tetapi berdusta kepada seorang Arya sulit untuk dipurifikasi. Jadi seseorang harus jujur, jangan supaya temannya bilang: “Wah kamu hebat sekali mengangkat sumpah Bodhisattva seketika,” tetapi setelah keluar sama sekali tidak menjaganya. Jadi sila adalah sesuatu yang bersifat sangat personal, harus didasarkan pada kemampuan real yang dimiliki oleh yang bersangkutan, diri kita. Kalau kita tidak dapat menjaga kelima-limanya, jangan mengangkat sila, ikuti kaidah pertama tadi, sraddha saja, tidak usah sila kalau kita memang tidak mampu. Tetapi benarkah kita tidak mampu mengangkat sila? Itu faktor lain lagi, apakah itu murni karena kita tidak mampu, atau karena keengganan dan kemalasan, itu lain lagi ceritanya. Jadi mengenai hal ini Sang Buddha memberikan penawaran, bila bisa kelima-limanya, bila tidak satu dulu, kemudian bila kemungkinannya terbuka lebih baik dua, lebih baik lagi tiga, lebih baik lagi empat, lebih baik lagi lima. Tetapi dengan karakter semuanya harus disimpan sebagai harta primary, bukan secondary.

Itu mengenai sila. Tanpa mempertahankan sila dengan gigih, alam surga tidak akan diisi oleh makhluk dari alam manusia. Satu-satunya tangga yang dapat diinjak oleh manusia dan mengantarkannya ke alam surga adalah sila (tangga yang harus ditempuh manusia untuk pergi ke surga rupadhatu atau surga alam keinginan adalah sila). Bahkan Sang Buddha juga mengulas lebih luas lagi untuk menjadi manusia yang sehat secara fisik, tidak mengalami pembunuhan, tidak mengalami penyakit menahun, tidak mengalami kemiskinan yang berlarut-larut, tidak mengalami berbagai hal yang merupakan bentuk kehidupan yang negatif, itu juga berkait dengan praktik sila seseorang. Demikian juga dengan para bhiksu, bila tidak menjaga silanya dengan baik maka tujuannya menjadi bhiksu tidak akan pernah tercapai. Tujuannya apa? Yaitu mencapai pembebasan dari samsara, kalau Mahayana dengan menjadi seorang Buddha, kalau Theravada atau Sravakayana menjadi seorang Arhat, tetapi kalau silanya rusak walaupun menjadi bhiksu selama satu kalpa dia tidak akan mencapai tujuannya. Demikian juga dengan Bodhisattva, walaupun telah mengikrarkan Bodhisattva sila kemudian silanya tidak cermat diketahui, dijaga dan dipelihara, ia merupakan Bodhisattva yang paling terakhir mencapai Pencerahan. Yang lain-lain sudah menjadi Buddha, Bodhisattva yang silanya sering rusak ini menjadi paling akhir. Jadi sila adalah harta yang tidak dapat tercecer, kalau kita meninggal dia akan ikut dengan kita dan dialah yang menyediakan kehidupan masa depan kita sebagai apa kelak nanti, apakah sebagai seorang manusia yang cemerlang, apakah sebagai para dewa yang hidup di alam-alam surga, itu tergantung dari praktik sila kita.

Harta ketiga adalah Dana (berdana, memberikan sesuatu). Dalam tradisi Buddhis berdana merupakan praktik yang sangat penting karena sesungguhnya berdana merupakan usaha untuk berinvestasi dalam kehidupan yang akan datang. Saya sering mengumpamakan seperti seorang pengusaha minyak, orang yang berbisnis minyak misalnya dalam bentuk perorangan, kelahiran yang sekarang yang menyebabkan kita menjadi manusia mungkin manusia yang ideal, itu seperti menemukan tambang permata atau tambang minyak akibat dari investasinya di masa lalu, tetapi kalau ini terus digunakan, begitu banyak hal yang telah dieksploitasi untuk membiayai kehidupan kita, untuk membayar kontrak hidup kita selama 60-70 tahun dan juga untuk membuat keluarga kita sejahtera dan melakukan banyak hal, telah banyak sekali akumulasi kebajikan yang terpakai atau yang telah digunakan. Oleh karena itu dalam tradisi Buddhis, Sang Buddha memberikan anjuran-anjuran agar kita efisien dalam menggunakan potensi kebajikan, seperti yang beliau sendiri contohkan: Sang Buddha mencapai ke-Buddhaan dengan menyisakan deposit kebajikan yang sangat besar. Jadi sejak menempuh perjalanan sebagai seorang Bodhisattva yang menjaga silanya dengan baik, semua yang dilakukan oleh Sang Buddha tentu menimbulkan karmaphala-karmaphala tetapi belum pernah digunakan karena setiap kali berinkarnasi menjadi suatu figur, Sang Buddha selalu menjadikan prinsip-prinsip Dharma sebagai jalan hidupnya yang memungkinkannya untuk sangat efisien dalam menggunakan kebajikan, dengan demikian kebajikannya semakin menggunung, semakin besar dan ketika Sang Buddha mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha di mana tubuh fisik atau rupakayanya saja membutuhkan kebajikan yang sangat besar, kebajikan Sang Buddha yang lebih (yang tersisa) masih mencukupi untuk menjadi seorang Cakravarti selama 60.000 kali. Oleh karena Sang Buddha mendedikasikannya kepada siapa pun yang mempraktikkan Dharma dengan sungguh-sungguh, dengan murni, maka jangan takut akan sakit karena mempraktikkan Dharma, jangan takut akan mengalami hal-hal yang negatif karena praktik Dharma. Kenapa demikian? Karena kebajikan Sang Buddha tersebut akan secara langsung (otomatis) mengalir pada mereka yang dengan sungguh-sungguh mempraktikkan Dharma. Jadi tradisi Buddhis mengajarkan efisiensi dalam menggunakan karma baik yang kita miliki. Sebagai seorang Buddhis sebetulnya sangat bagus kita dapat membatasi diri secara pribadi, misalnya tidak perlu membangun rumah yang besar dan megah dengan slot pintu dari emas murni, lampu-lampunya dari kristal murni, semua itu tidak perlu. Kenapa? Karena itu berarti mengeksploitasi kebajikan yang dikumpulkan dari kehidupan masa lalu, tetapi dianjurkan agar kebajikan itu didedikasikan atau dilimpahkan kepada makhluk lain (kalau Mahayana semoga semua makhluk ikut menikmati kebajikan yang saya lakukan). Anda bisa membayangkan bila orang Buddhis pintunya dari emas, Anda bisa menghitung, satu pintu bisa 20 kg emas, 1 kg emas murni kira-kira 90 juta, jadi kalau 20 kg berarti 1,8 milyar untuk satu pintu, kemudian rumahnya dihias dengan permata-permata. Sebetulnya semua itu tidak perlu karena berarti mengeksploitasi kebajikan yang telah dikumpulkan. Yang harus diperindah adalah bagaimana kebajikan-kebajikan ini akan terus menggunung sehingga memberikan energi yang lebih besar bagi perjalanan spiritual Buddhis. Makanya Anda dapat melihat di mana pun apakah di India atau di Indonesia (di Sumatera) di mana di masa lalu banyak para raja Buddhis yang sangat hebat, untuk istananya sendiri mereka membangun dari kayu tetapi untuk vihara atau candi mereka membangun dari batu yang diukir selama berpuluh-puluh tahun, bahkan candi Borobudur dikatakan diukir selama ratusan tahun. Untuk istana sendiri mereka tinggal di rumah yang dibangun dari kayu, setelah lama berlalu dan kayu itu tumbang akhirnya tidak ada jejaknya, itu sebabnya sampai sekarang belum diketemukan sebetulnya di mana istana raja Syailendra, di mana istananya raja Balaputradewa di mana dulu Lama Serlingpa merupakan anggota keluarganya, tidak diketahui karena mereka tinggal di tempat yang sederhana, tetapi untuk kepentingan kebajikan mereka melakukan dengan segala daya upaya. Ini sebagai contoh, bukan berarti saya menganjurkan untuk tidak membangun istana yang megah, silahkan membangun istana yang megah tetapi ingat itu adalah eksploitasi terhadap kebajikan Anda sendiri secara besar-besaran. Jadi kalau setahun Anda biasanya berdana satu buah pasta gigi pada hari Kathina kemudian umur Anda 60 tahun jadi 60 buah pasta gigi, tinggalnya di istana (kebajikannya yang jauh-jauh sudah tersedot habis untuk membiayai istananya) maka setelah lahir kembali cuma tinggal gigi yang putih saja. Ini adalah jawaban mengapa ada tradisi efisiensi hidup bagi para penganut ajaran Sang Buddha, karena pertimbangannya seperti itu.

Kemudian dana menjadi sangat penting karena ini akan mempersiapkan segala sesuatu mengenai kelahiran kita di masa depan. Apakah kita akan lahir di rumah seorang raja, konglomerat, pengusaha besar, apakah kita akan lahir di tempat yang sederhana, misalnya menjadi bagian dari suku Nomaden yang pindah dari padang rumput di sini ke padang rumput di sana, atau menjadi orang Irian yang pakai rumbai-rumbai, itu tergantung dari harta para Arya yang ketiga yaitu dana. Dana yang menjadi penyebab fenomena itu. Orang yang berdana secara intensif membuka kesempatan untuk meraih karmaphala yang besar dalam hal dana. Orang yang kurang berdana (sedikit) sedikit itu bertingkat-tingkat: sedikit, setengah sedikit, sedikit sekali. Kalau yang sedikit yah menjadi orang kebanyakan seperti sebagian besar umat manusia, jadi manusia tetapi untuk menggerakkan roda hidupnya harus berputar dengan kencang, itu yang berdana di masa lalu sedikit. Kalau yang setengah sedikit menjadi orang yang lebih tergencet atau susah, tinggal di daerah pinggiran atau banyak hal yang sulit dalam kaitannya dengan kesejahteraan hidup. Kalau yang sedikit sekali yah menjadi suku-suku primitif di Irian, atau suku Kubu di Sumatera, atau jadi orang Afrika yang masih primitif. Kalau yang sama sekali tidak melakukan kebajikan maka tidak cocok menjadi manusia, modalnya atau bekal dan syarat-syarat yang harus dipenuhi tidak cukup sehingga mereka akan lahir di alam yang disebut alam preta, itu adalah tempat bagi yang tidak melakukan kebajikan.

Jadi dana memberikan kondisi yang bagus untuk mempraktikkan spiritual, kalau kita kurang berdana maka kita tidak akan memiliki kesempatan untuk mempraktikkan dana kembali. Tetapi dana sebetulnya tidak dilihat dari bentuk fisiknya, itu bergantung situasi hidup kita masing-masing dan kesungguhan hati kita masing-masing. Di zaman Sang Buddha banyak cerita mengenai dana yang intensif meskipun tidak dalam bentuk yang besar, seperti ada seorang wanita yang ingin melakukan dana kepada Sang Buddha tetapi tidak memiliki apa pun kemudian dia memotong rambutnya sendiri untuk dijual dan uang yang didapatkannya dibelikan pelita dan dinyalakan sebagai offering pada Sang Buddha. Sang Buddha memujinya sebagai persembahan yang sangat baik. Upashaka Dromstonpa tidak memiliki offering apa pun, mendapatkan mentega dari Guru Atisha untuk dimakan tetapi oleh beliau diberi sumbu kemudian dinyalakan sebagai offering, beliau mencapai realisasi sebagai Bodhisattva yang tidak dapat dibeli dengan istana maupun seluruh triloka (ketiga dunia). Jadi dana sangat tergantung pada motivasi dan kesungguhan hati kita. Sang Buddha sendiri telah menunjukkan bahwa dana tidak harus dalam bentuk materi tetapi dalam bentuk apa saja yang merupakan kegiatan yang bercirikan membebaskan seseorang dari apa yang dibutuhkan. Misalnya orang butuh makan kita beri makan itu berdana, orang butuh minum kita beri minum itu berdana, orang butuh tempat tinggal kita beri tempat tinggal itu berdana, selain itu juga untuk Triratna. Orang butuh kenyamanan seperti jembatan, tempat berteduh, shelter di pinggir jalan, kemudian suplai air di tempat-tempat yang kering, itu juga berdana. Ketika Sang Buddha masih sebagai orang biasa dan melihat Sang Buddha Dipamkara berjalan di lorong desa kemudian ada kubangan lumpur di sana, Sang Buddha berpikir untuk mengorbankan dirinya supaya Buddha Dipamkara tidak kecebur lumpur sehingga akhirnya Sang Buddha yang waktu itu masih orang biasa berbaring di atas dan meminta Buddha Dipamkara untuk menginjaknya supaya tidak kena lumpur. Setelah bangun, Buddha Dipamkara bertanya: “Kamu telah melakukan sesuatu yang baik, apa yang kamu minta dari saya?” Sang Buddha memohon agar diberkati supaya suatu saat nanti bisa menjadi seorang Buddha dan Buddha Dipamkara mengabulkan permohonannya. Ini juga merupakan bentuk offering, jadi dengan kata lain sebetulnya banyak sekali penjelasan yang lebih rinci mengenai kemurahan hati atau dana, tapi garis besarnya adalah memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang lain, tentunya dalam kaidah kebajikan. Dana juga menghindarkan kita dari mementingkan diri sendiri, kemudian kemalasan dan sikap pelit juga diperangi oleh dana. Orang yang pelit atau kikir terhadap apa yang dimilikinya sesungguhnya tidak akan memperoleh apa pun dari yang dimilikinya. Guru Shantideva menyatakan (kalau praktik Mahayana), sama seperti pohon yang hanya berbuah sekali, jadi sekarang yang kita nikmati adalah karmaphala dari kebajikan masa lalu kita; kalau tiap hari, tiap bulan, tiap tahun kita petik, maka pada saat kita meninggal mungkin sudah selesai buahnya, pohon itu sudah menjadi pohon tua yang sudah tidak berbuah lagi seperti pohon pisang yang hanya berbuah sekali. Tetapi kalau orang berinvestasi lagi, jadi setelah buahnya dipetik ditanam lagi, kalau bisa lebih banyak atau lebih intensif lagi, maka tidak seperti seorang pengusaha tambang minyak atau tambang permata dia tidak akan kehabisan karena sebelum habis dia sudah melakukan usaha-usaha untuk memperbaruinya yaitu dengan cara menanam kebajikan kembali.

Jadi saya tambahkan bahwa dalam hal ini sebagai seorang praktisi Buddhis kita harus mengikuti teladan yang diberikan oleh para Arya, karena hanya dengan cara itu kualitas spiritual kita akan meningkat dan kita secara perlahan-lahan akan mulai berubah dari perangai hidup sebagai seorang manusia biasa menjadi seorang praktisi yang lebih baik lagi. Kualitas-kualitas negatif yang kita bawa dari hidup sebagai manusia atau makhluk lain di masa lalu pelan-pelan juga akan ditanggalkan, seperti egois, pikiran yang sempit, perasaan-perasaan yang bersaing di antara orang, perasaan lebih unggul dari orang lain, kemudian kekikiran, kurang cinta kasih kepada sesama, kurang murah hati, kurang ringan tangan dalam menolong orang atau dalam melakukan kebajikan, itu perlahan-lahan akan meredup. Dan sebaliknya semua ciri-ciri orang yang hidup dalam kaidah spiritual akan mulai muncul, misalnya lebih toleran, lebih bijaksana, berbicara lebih ramah, senang menolong orang lain, lebih tahan menghadapi cobaan hidup, lebih tahan menghadapi berbagai kesulitan, itu akan muncul bila kita mengikuti prinsip-prinsip spiritual dengan benar dan merenungkan apa yang menjadi kegiatan dari para Arya. Dan bila kita melakukannya secara terus-menerus, ini sama seperti kita berdiri di depan cermin dan kemudian kita melihat diri kita dengan seksama, apa yang kurang, apa yang harus ditambah, apa yang harus dikembangkan, lama-lama kita juga akan menjadi maju dan mungkin pada gilirannya kita akan menjadi seorang Arya juga. Jadi dengan demikian yang paling mendasar adalah adanya kemauan yang terus-menerus, yang tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan, apa pun yang terjadi dalam hidup kita, mungkin menyenangkan mungkin tidak menyenangkan, mungkin menunjang praktik kita mungkin tidak menunjang praktik kita, itu adalah pengalaman karma yang harus dijalani, tetapi pertolongan penerang jagat raya yaitu Sang Buddha dalam bentuk Dharma harus tetap kita pertahankan. Mengenai yang lain-lainnya, ia bisa datang ia bisa pergi, ia bisa menyenangkan ia bisa mengecewakan, jangan terlalu menganggapnya sebagai hal yang betul-betul serius karena yang lain itu hanyalah hal-hal yang bersifat secondary. Orang yang terjebak dalam keterikatan samsara, apakah terhadap materi, terhadap orang per orang, terhadap predikat, Guru Atisha menyatakan kesempatan untuk mencapai kebahagiaannya menjadi mati karena kakinya terjerat oleh samsara yang bersifat sementara, dengan demikian dia tidak bisa berjalan lagi apakah menuju alam yang lebih tinggi atau menjadi seorang Arya. Jadi keterikatan harus perlahan-lahan dieliminir dengan demikian kita menjadi orang yang sedikit bebas dari keterikatan tanpa mengabaikan tanggung jawab duniawi kita sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai famili, sebagai saudara dan sebagainya, tetapi secara mental kita adalah seorang praktisi spiritual yang menuju pada tujuan yang pasti yaitu ke-Buddhaan yang sempurna.

Bagian II – Minggu, 31 Maret 2002

Om Svasthi, Namo Buddhaya!

Jadi pagi ini kita akan meneruskan lagi ajaran mengenai Sapta Aryadana atau Tujuh Kekayaan Para Arya. Pada waktu yang lalu saya telah menjelaskan bahwa ajaran ini diucapkan sendiri oleh Sang Buddha baik di dalam Tripitaka Mahayana maupun Theravada. Kalau di Mahayana bisa ditemukan di beberapa sutra, sedangkan di Theravada dapat ditemukan di Diggha Nikaya maupun Majjhima Nikaya. Jadi secara keseluruhan, Tujuh Kekayaan Para Arya (Sapta Aryadana) merupakan kesimpulan atau suatu ungkapan yang dinyatakan sendiri oleh Sang Buddha. Sang Buddha yang menyatakan bahwa para Arya memiliki tujuh macam kekayaan atau harta yang disebut Sapta Aryadana.

Para Mahaguru India juga Tibet telah berkali-kali mengulas mengenai pentingnya Sapta Aryadana ini, misalnya Guru Nagarjuna dalam salah satu baitnya yaitu slokha ke-32 dari Suhrllekha atau surat kepada seorang raja (siswanya), Guru Nagarjuga menuliskan suatu ajaran kepada seorang muridnya yaitu Raja Gautamiputra yang terdiri dari dari beberapa syair, dan pada slokha yang ke-32 Guru Nagarjuna mengingatkan siswanya agar berusaha untuk memiliki tujuh macam kekayaan para Arya. Sebetulnya Guru Nagarjuna tidak mengulasnya secara tersendiri karena itu merupakan lanjutan dari slokha sebelumnya di mana Guru Nagarjuna membicarakan delapan dharma duniawi (Asta Loka Dharma yaitu delapan dharma yang menggerakkan atau mendasari kehidupan dunia ini) yang secara umum telah membudaya dalam kehidupan masyarakat manusia, telah menjadi sesuatu yang biasa, yang umum, yang lumrah, yang diterima secara umum dan dijalankan oleh semua umat manusia tetapi kemudian Guru Nagarjuna membuat pesan kepada Raja Gautamiputra bahwa semua itu tidak cocok bagi mereka yang menempuh jalan Dharma (jadi delapan dharma duniawi umum atau cocok bagi orang duniawi, dijalankan oleh setiap orang, dimengerti sebagai sesuatu yang lumrah atau wajar oleh orang di dunia ini, tetapi tidak cocok bagi praktisi spiritual).

Apakah yang disebut sebagai praktisi spiritual? Para Mahaguru mendeskripsikannya sebagai: Yang pertama, mereka yang ingin menghentikan penderitaannya. Jadi bila biasanya kita menderita karena hal-hal kecil, kecewa oleh karena makanan, karena keterikatan kecil terhadap predikat, sebutan, perasaan, maka orang yang ingin memerangi situasi mental seperti itu memiliki ciri-ciri orang yang mempraktikkan spiritual. Misalnya seseorang kehilangan sesuatu yang berharga, pada umumnya secara wajar atau manusiawi, sikap mental yang muncul adalah rasa kehilangan, mungkin penyesalan, dan pada tingkat tertentu bisa menggoyahkan keseimbangan mental seseorang ditandai dengan hilangnya selera makan, hilangnya rasa mengantuk dan ada perasaan sedih yang mendalam dalam hati. Ini gejala manusiawi yang biasa muncul pada setiap orang. Praktisi spiritual membalikkannya, apa yang hilang, apa yang terjadi, apa yang dialaminya itu tidak sampai menyentuh pada keseimbangan batinnya, dia akan melihat kejadian yang dialaminya dengan sudut pandang yang berbeda. Jadi dalam hal ini dikatakan praktisi spiritual adalah mereka yang ingin menghentikan penderitaan mental yang disebabkan karena hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Selangkah lebih maju lagi yaitu mereka yang ingin hidup lebih baik bukan hanya kehidupan sekarang tetapi juga kehidupan yang akan datang. Orang yang sudah berpikir mengenai kehidupan yang akan datang adalah praktisi spiritual, dengan demikian dia akan mulai mempunyai bayangan kehidupan akan datang yang dia inginkan, dan usaha untuk menghiraukan kehidupan yang akan datang itu disebut sebagai usaha spiritual. Berikutnya, dua langkah lebih maju lagi adalah mereka yang ingin menghentikan sama sekali kehidupan-kehidupan di dalam samsara, dan yang terakhir adalah mereka yang ingin menjadi seorang Buddha seperti yang dicontohkan oleh Sang Buddha serta para Buddha yang lain.

Orang yang memiliki pikiran-pikiran seperti ini adalah praktisi spiritual, jadi orang yang praktik spiritual bukanlah yang tiap hari datang ke vihara, bukan yang kalau senggang membaca Dhammapada, bukan yang Che-it Cap-go ke vihara memasang dupa, namaskara dan menyanyikan lagu-lagu spiritual. Kalau di dalam hatinya tidak muncul ide-ide untuk menghentikan penderitaan, meraih kehidupan yang lebih baik di kemudian hari, menghentikan kelahiran berulang di dalam samsara atau menjadi Bodhisattva dan Buddha, ibarat hujan yang menerpa daerah yang berpasir akan hilang dan tidak meresap ke dalamnya. Kenapa demikian? Karena apa yang dilakukannya tidak sampai menyentuh ke dalam esensi spiritual yang sebenarnya. Guru Nagarjuna berkata, delapan dharma duniawi tidak cocok untuk orang yang mempraktikkan spiritual, jadi orang yang mempraktikkan spiritual seharusnya tidak berkeluh kesah, tidak membiarkan hatinya menjadi terlalu sedih atau gembira, tidak membiarkan dirinya diliputi oleh hal-hal yang datang melalui kelima indranya, sehingga Guru Nagarjuna berpesan kepada muridnya yang seorang raja di mana kita ketahui betapa sulitnya bagi seorang raja untuk mengambil jarak dari delapan dharma duniawi karena di antara delapan dharma duniawi terdapat hal-hal yang biasa bagi raja, dan dalam hal ini menurut nasihat Gurunya harus dijauhi.

Bila delapan dharma duniawi hinggap di dalam hati seorang praktisi spiritual, misalnya ibadahnya, namaskaranya, kitab-kitab suci dan buku-buku Dharma yang dimilikinya, tasbih yang dipegangnya ke sana kemari, altar yang didirikan di dalam rumahnya, semuanya menjadi terkontaminasi dan tidak menjadi sebuah praktik spiritual yang sebenarnya karena dia membuat Dharma, membuat pengetahuan dan praktiknya untuk mendapatkan pemberian, pujian, penghormatan, dan sebagainya. Kalau ada gagasan-gagasan seperti itu misalnya pada saat offering muncul perasaan biar orang lain melihat bahwa saya sebetulnya orang yang senang membuat offering, bila pikiran itu muncul dan tidak segera diredakan maka offering yang kita lakukan itu menjadi offering duniawi, masuk dalam klasifikasi dharma duniawi. Itu contoh yang dikemukan oleh Guru Nagarjuna kepada siswanya raja Gautamiputra. Ini adalah obat bagi kecenderungan-kecenderungan yang menyebabkan tujuan seseorang hidup bahagia sekarang maupun yang akan datang, secara sementara maupun secara menyeluruh, apakah menjadi seorang Bodhisattva atau Buddha, kalau delapan dharma duniawi belum direnggangkan atau setidaknya disadari sebagai suatu kekeliruan maka semua ibadahnya menjadi belum menyentuh praktik spiritual. Jadi setelah Guru Nagarjuna mencela delapan dharma duniawi dan menganjurkan muridnya untuk mengambil jarak, Guru Nagarjuna menyodorkan suatu konsep penyembuhnya yaitu dengan Tujuh Aryadana. Para Guru mengatakan, tujuh harta ini tidak pernah mengambil jarak dari siapa pun yang memilikinya, sedangkan semua bentuk milik yang lain akan mengambil jarak pada gilirannya, apakah itu kerajaan, harta benda, suami-istri, anak dan cucu, reputasi, semuanya pada gilirannya akan menjauh dari yang bersangkutan. Seorang raja akan meninggalkan kerajaannya, seorang suami akan meninggalkan istrinya, seorang istri akan meninggalkan suaminya, orang tua akan meninggalkan anak-cucunya. Namun tidak demikian halnya dengan Tujuh Aryadana, bila seseorang mengembangkan dan memilikinya maka tidak akan tertinggal, tidak akan hilang, tidak bisa diambil oleh orang lain dan selama-lamanya akan menyertai sampai yang bersangkutan tidak membutuhkannya lagi, artinya sudah menjadi seorang Mahapurusha, seorang makhluk utama.

Jadi Guru Nagarjuna membuat interpretasi yang agak meluas tentang pentingnya tujuh harta para Arya ini, dikemukakan kepada orang yang sulit sekali untuk menolak delapan dharma duniawi, yaitu seorang raja yang bernama Gautamiputra, muridnya. Mahaguru yang lain, Guru Atisha Dipamkara Srijnana, beliau juga mengemukakan pentingnya tujuh harta para Arya ini untuk dikumpulkan, ditimbun dan dimiliki oleh seseorang. Para Geshe Kadampa mengatakan banyak para praktisi spiritual secara lahiriah mungkin memiliki sedikit sekali materi, HH Dalai Lama selalu bilang bahwa untuk tidak membuat rintangan dalam praktik kita seharusnya kita tidak terlalu miskin, karena kalau terlalu miskin sulit sekali untuk praktik Dharma, mau beli offering tidak bisa, mau pergi berziarah tidak bisa, mau pergi mencari teaching tidak bisa, mau membuat sesuatu tidak bisa karena terlalu miskin, jadi kemiskinan harus dihindari. Tetapi juga jangan terlalu kaya karena menyebabkan berbagai rintangan yang sama sulitnya dengan orang miskin, misalnya untuk berjam-jam melafal tidak bisa karena harus mengurusi berbagai hal, untuk beramah-ramah pada semua orang tidak bisa karena harus menjaga status, untuk memandang semua orang dengan cinta kasih seperti seorang ayah atau ibu kepada anaknya tidak bisa karena dia harus menjaga statusnya. Dengan demikian HH Dalai Lama selalu mengatakan idealnya seorang praktisi jangan terlalu kaya juga jangan terlalu miskin, sedang saja. Tapi semua itu tergantung bagaimana setiap orang mengadaptasi ide tersebut.

Guru Atisha menyatakan bahwa Aryadana harus dikumpulkan. Para Geshe Kadampa biasa hidup sedemikian rupa tetapi mereka memiliki tujuh harta para Arya ini dengan mengatakan: “Walaupun permata indah dikenakan (tentu akan indah dan bagus dilihat kalau kita melihat seorang wanita mengenakan batu permata dengan anting, liontin, gelang tangan dan kaki yang serba hijau, merah, putih disesuaikan dengan baju yang dikenakannya) tetapi mereka yang mengenakan perhiasan para Arya atau harta para Arya memang benar-benar indah, dia tidak akan kehilangan, takut diambil orang atau tertinggal karena begitu dia bangun, ke mana pun dia pergi hiasan permata Arya itu sudah menyatu dengan diri atau kepribadiannya.” Itu adalah opini dari para Geshe Kadampa. Jangan bersedih kalau tidak bisa membeli batu permata untuk dikenakan, jangan merasa miskin bila tidak memiliki kemampuan untuk membeli intan untuk dikenakan sebagai perhiasan, tetapi seharusnya bahkan yang sudah mengenakan permata dan intan juga harus mengenakan tujuh harta para Arya.

Kemarin kita telah sampai pada beberapa poin, yang pertama dari tujuh harta para Arya adalah Sraddha atau keyakinan, yang kedua adalah Sila atau membiasakan dalam kebajikan, yang ketiga adalah Dana. Saya akan mengulang lagi bahwa keyakinan merupakan faktor yang sangat penting karena Sang Buddha menyatakan bila seseorang tidak punya keyakinan dalam dirinya, seperti biji yang sudah digoreng (sudah tersulut oleh api) tidak punya daya tumbuh lagi. Orang yang tidak punya keyakinan dalam hatinya, tidak akan ada kebajikan apa pun yang tumbuh dari dirinya. Dia tidak akan punya kebajikan kemurahan hati, walaupun sudah mendengar ajaran tentang karma, tidak akan tumbuh keyakinannya sehingga kalaupun ada kesempatan berdana dia tidak akan berdana. Sudah menerima ajaran tentang berbagai hal yang baik tetapi kalau keyakinannya tidak ada, maka kebajikan tidak akan bersemi dalam dirinya. Yang bersemi apa? Tetap hal-hal yang bukan kebajikan yaitu berdasarkan naluri kehidupan yang disebut sebagai delapan dharma duniawi. Meskipun berkah dari Triratna (Buddha, Dharma, Sangha) berlimpah-limpah sepanjang masa tetapi orang yang tidak berkeyakinan tidak mendapatkan berkah sedikit pun juga. Guru-guru mengatakan, orang-orang yang memiliki keyakinan yang kecil kepada Triratna akan mendapat berkah yang kecil, misalnya kalau ke vihara cuma namaskara dan pergi, berkahnya kecil saja. Orang yang memiliki keyakinan sedang kepada Triratna maka berkahnya juga setimpal dengan keyakinannya. Orang yang memiliki keyakinan besar sekali maka berkahnya juga akan besar. Sebaliknya orang yang tidak memiliki keyakinan sama sekali, Triratna tidak akan menurunkan berkahnya.

Di zaman dulu di Tibet banyak cerita-cerita mengenai hal ini, juga di India, misalnya cerita tentang sepatu. Bila orang memiliki keyakinan, apa pun perbuatan yang dilakukannya, apakah menyapu vihara atau tempat kegiatan, apakah dia menguntai bunga, menggeser sebuah bangku, meletakkan sebuah tempat duduk, kalau dia memiliki keyakinan maka itu menjadi sumber kebajikan dan kebahagiaan (kalau memiliki keyakinan).

Pada suatu ketika ada orang sedang lewat dan melihat di tepi jalan ada arca Buddha yang sedang kehujanan (karena di tempat terbuka jadi kehujanan). Dia melihat ke sana kemari tetapi tidak ada alat untuk menutupi, satu-satunya yang memungkinkan adalah sepatunya. Dalam tradisi tata krama Buddhis, menaruh sepatu di hadapan apalagi menyelimuti Buddha merupakan perbuatan yang tercela, tetapi karena pada situasi tersebut tidak ditemukan yang lain dan dengan penuh kasih sayang mengingat bahwa apa yang menggerakkannya adalah bentuk penghormatan, maka dia mencopot sepatunya dan digunakan sebagai penutup arca Buddha yang kehujanan itu, ini menjadi suatu kebajikan. Ada orang lain yang lewat pada saat hujannya telah berhenti, melihat hal ini dia berpikir bahwa menaruh sepatu di arca Buddha adalah perbuatan yang sangat tercela sehingga dia mengangkat sepatu tersebut sehingga arca Buddhanya tidak tertutup sepatu lagi. Orang kedua ini juga mendapat kebajikan karena keyakinannya. Jadi itu sebabnya maka bila orang memiliki keyakinan, perbuatan apa pun yang dilakukannya akan membawa berkah.

Orang sudah minta perlindungan kepada Buddha Jambhala, minta blessing pada Buddha Tara, sudah mengunjungi tempat-tempat suci, sudah berpradaksina ke sana kemari, sudah mempersembahkan berbagai offering, tetapi kalau keyakinannya tidak diperdalam, keyakinannya kecil dan menganggapnya sebagai pekerjaan biasa, maka blessing Sang Triratna tidak akan banyak. Seperti yang tadi dikemukakan oleh para Guru, orang yang keyakinannya kecil blessingnya juga kecil, orang yang keyakinannya sedang blessingnya juga sedang, orang yang keyakinannya besar blessingnya juga besar, orang yang tidak punya keyakinan yah tidak mendapat apa-apa walaupun melakukan pekerjaan yang sama. Ada lagi cerita mengenai gigi Buddha yang sudah pernah saya ceritakan. Jadi keyakinan menentukan berkembangnya kebajikan dalam diri seseorang atau tidak, memperoleh blessing atau tidak. Bagi orang yang tidak mempunyai keyakinan, bahkan pada saat Sang Buddha sendiri berada di hadapannya, kualitas agung Sang Buddha tidak akan memberikan pengaruh apa-apa pada orang tersebut.

Ada cerita mengenai seorang bhiksu yang bernama Bhiksu Sunakata. Bhiksu Sunakata adalah saudara tiri Sang Buddha, 20 tahun lamanya dia dekat dengan Sang Buddha (karena ada hubungan darah maka dia selalu berada di dekat Sang Buddha) tetapi Bhiksu Sunakata ini sama sekali tidak memiliki sraddha (keyakinan) sekecil apa pun pada Sang Buddha karena hanya melihat Sang Buddha sebagai orang biasa, sebagai kakak tirinya. Bahkan dia berkata kepada para bhiksu yang lain bahwa selama 20 tahun bersama Sang Buddha tidak pernah melihat ada hal yang istimewa. “Setahu saya dari tubuh Sang Buddha hanya memancarkan sinar saja, selebihnya tidak ada. Apa yang dikemukakan saya juga tahu, apa yang diajarkan saya juga tahu,” demikian kata Bhiksu Sunakata. Apa yang terjadi? Orang lain yang tidak punya hubungan darah dan tidak bisa mendekati Sang Buddha selama 20 tahun bisa mendapatkan blessing yang berlimpah-limpah, mencapai realisasi ke-Bodhisattvaan, mencapai realisasi Arhat tetapi Bhiksu Sunakata sama sekali tidak mencapai realisasi apa pun juga. Kenapa? karena tidak memiliki keyakinan. Masalahnya bukan siapa yang kita temui, bukan siapa yang dapat memberikan blessing kepada kita, tetapi masalahnya adalah seperti apa keyakinan yang kita kembangkan dalam diri kita. Banyak mahasiddha yang datang di masa lalu, tetapi hanya mereka yang berkeyakinan yang mendapat blessingnya. Banyak para mahaguru yang datang di masa lalu, tetapi hanya mereka yang berkeyakinan yang mendapatkan manfaatnya. Orang yang tidak berkeyakinan tidak mendapatkan apa pun juga, jadi dalam hal ini sraddha merupakan kekayaan yang pertama dari para Arya.

Yang kedua adalah sila, jangan memandang sila sebagai beban, apakah Pancasila atau sila-sila yang lain, jangan sampai kita menganggap sila-sila itu sebagai suatu beban, tetapi sebaliknya kita harus memandangnya sebagai perhiasan yang memperindah diri kita. Praktik-praktik sila tidak dapat dilihat pengaruh spiritualnya secara fisik tetapi bila kita berdiri di hadapan orang yang sudah maju, seorang Arya atau seorang Buddha atau Bodhisattva atau Guru yang telah maju, ciri-ciri sila yang telah kita jalankan menjadi terlihat. Jadi bila kita memandang sila sebagai perhiasan maka kita akan dengan senang hati menjalankannya, pada hari Uposatha kita menjalankan Athasila, pada hari biasa kita menjalankan Pancasila, bukan sebagai suatu beban dan belenggu tetapi sebagai alat untuk memperindah diri, memperkaya diri dengan kekayaan dari para Arya. Bila kita sudah bisa berpikir seperti itu, jangankan Pancasila, Athasila juga sanggup kita jalankan, bahkan Bodhisattva sila dan Tantra sila juga bisa kita jalankan, karena ini merupakan suatu harta yang sangat bagus untuk ditimbun. Kalau kita memandang sila sebagai sebuah belenggu, beban, sumber kesulitan, sebuah rintangan kegembiraan duniawi, maka kita tidak akan pernah menjalankan sila dan bila kita tidak pernah menjalankan sila maka tidak akan bisa memiliki harta para Arya yang kedua yaitu kekayaan sila, dan bila itu terjadi berarti kita tidak mengumpulkan kekayaan yang kekal yang menempel dan mengikuti ke mana pun kita pergi, tetapi hanya memiliki kekayaan yang akan tertinggal.

Yang ketiga adalah dana. Dana juga merupakan sikap yang dimiliki oleh para Arya. Guru Chandrakirti mengatakan, bila para Bodhisattva mendengar kata-kata “beri” saja tanpa melihat orang melakukannya, para Bodhisattva tersebut sudah sangat gembira, karena di situ ada kebahagiaan, bahagia bagi yang menerima pemberian dan bahagia bagi yang memberikan pemberian. Jadi para Bodhisattva merasa senang sekali kalau melihat orang memberi, oleh karena itu salah satu bagian dari paramita disebut ‘muditacitta’, turut bergembira. Kenapa ada bagian itu? Karena di dalam kebajikan pemberian ada dua macam kebahagiaan, yaitu bahagia yang menerima dan bahagia pula yang memberi. Para Bodhisattva bahkan tidak hanya memberikan materi saja tetapi juga memberikan dirinya sendiri demi kebahagiaan makhluk lain. Guru Shantideva mengatakan bahwa sebetulnya tujuan yang paling mulia dari kehidupan sebagai manusia adalah untuk melayani, untuk menolong karena kalau….

Para Guru Mahayana mengatakan, “Coba katakan mana yang lebih penting, para Buddha atau makhluk hidup?” Biasanya kita akan mengatakan para Buddha yang lebih penting karena Buddha-buddha bisa memberkati kita dan bisa menunjukkan jalan kebahagiaan bagi kita. Itu tidak salah, tetapi bagaimana dengan semua makhluk? Bisakah Anda mendapatkan surga bila tidak melakukan kebajikan pada makhluk lain? Tidak! Bisakah Anda menjalankan sila (misalnya sila jangan membunuh) kalau tidak ada makhluk lain? Tidak! Bisakah Anda menjalankan dana bila tidak ada makhluk lain? Tidak! Bisakah Anda menjalankan kesabaran bila tidak ada makhluk lain? Tidak bisa! Dengan demikian, semua kualitas spiritual adalah kontribusi atau partisipasi dari makhluk lain. Orang hanya bisa mengatakan saya orang yang menjalankan prinsip kesabaran setelah ada orang yang menjengkelkan tetapi dia tetap bisa sabar. Anda tidak bisa menyatakan diri sebagai orang yang sabar bila tidak ada satu pun kejadian yang menguji kesabaran Anda. Siapa yang mengetes kita? Yang mengetes kita adalah makhluk lain, mungkin musuh kita, mungkin utusan mara, mungkin utusan Buddha untuk menguji kita. Bila seseorang sudah mengalami pembuktian bahwa dirinya memang praktisi kesabaran dan dia berhasil tanpa berkeluh kesah dan mengulang-ulangnya lagi. Yang disebut berkeluh kesah itu misalnya begini: “Saya sebetulnya tidak salah, tapi perbuatan orang itu……” “Menurut Anda bagaimana, orang itu berbuat begini terhadap saya, saya berusaha untuk sabar dan sampai sekarang belum membalas,” itu adalah keluh kesah yang terus diulang dan dibawa ke sana kemari. Praktisi kesabaran tidak mengucapkan apa pun kecuali “Ini adalah wahana untuk membuktikan tingkat kesabaran yang sudah selayaknya dicapai.” Bila itu ada dan kesabaran tetap dikedepankan meskipun terlambat, misalnya sudah marah-marah baru bilang “Sayang tadi saya tidak bisa bersabar,” atau hampir mau marah “Untung tadi saya tidak marah,” itu sudah suatu kemajuan kemudian di lain waktu terus meningkat dan semua hal harus dikembangkan secara seksama.

Jadi makhluk lain memiliki kontribusi yang besar terhadap perjalanan spiritual seseorang, tidak akan ada para Bodhisattva, para Mahasattva, tidak akan ada Buddha, bila tidak ada makhluk lain yang menyediakan dirinya sebagai wahana mengumpulkan kebajikan maupun kebijaksanaan. Oleh karena itu Guru Shantideva mengatakan bahwa tujuan tertinggi dari kelahiran sebagai manusia adalah untuk melayani. Bila ada satu orang saja bisa mengambil alih kesulitan banyak makhluk, seharusnya orang itu menyediakan dirinya untuk hal itu. Maksudnya adalah: dari begitu banyak orang mengapa tidak ada yang mau belajar sabar? Padahal kesabaran baik untuk perjalanan kelahiran yang akan datang, mengapa tidak ada orang yang mau mengembangkan Bodhicitta? Tidak ada orang yang mau bangun malam hari? Tidak ada orang yang mau membuat offering intensif? Tidak ada orang yang mau mengurangi keterikatannya? Tidak ada orang yang bercita-cita menjadi Buddha? Semuanya sibuk dengan bisnisnya, dengan persoalan cintanya, dengan persoalan keluarganya, dengan persoalan ini-itu? Guru Shantideva mengatakan bahwa seharusnya orang yang mengerti mau mengorbankan dirinya demi mereka semua yang belum bisa. Kalau melihat ungkapan Guru Shantideva maka itu menjadi inspirasi yang baik. Jadi berdana merupakan kegiatan yang sangat penting dalam praktik para Arya karena berbagai hal yang menyenangkan bisa tercipta dari dana.

Kemudian yang keempat adalah Hiri (malu pada diri sendiri), ini juga merupakan bagian dari harta para Arya. Malu pada diri sendiri berkaitan dengan perbuatan yang salah, misalnya: “Saya seorang Buddhis, saya malu berbicara yang menyinggung perasaan hati orang lain, menyakiti hati orang lain, merugikan orang lain, mengambil milik orang lain. Saya malu karena perbuatan itu tidak pantas bagi seorang Buddhis seperti saya.” Perasaan seperti itu merupakan kekayaan bagi seorang Arya karena mencegah seseorang dari berbuat kesalahan, melakukan ketidakbajikan yang pada gilirannya dia sendiri yang harus menanggung akibatnya. Oleh karena itu perasaan Hiri (malu pada diri sendiri) merupakan harta yang harus dipelihara dan dijaga. “Malu saya malas-malasan,” bukannya “Saya ini bodhicitta aspirasi lho,” tapi kalau pagi selimutnya makin ditebalin, “Jam berapa ini? Jam lima, wah masih ngantuk, ntar deh jam enam.” Kalau dia kemudian berpikir: “Malu saya, para Buddha melihat saya, para Bodhisattva melihat saya,” perasaan malu itu kemudian membuat kita lebih rajin dari sebelumnya. Ketika ingin melakukan sesuatu yang berlawanan dengan prinsip-prinsip spiritual apakah Theravada, Mahayana atau Tantra, muncul perasaan malu, itu artinya harta yang dimiliki oleh para Arya yaitu Hiri ada di dalam diri kita, tetapi kalau sama sekali tidak ada perasaan malu maka kita kehilangan harta para Arya yang disebut sebagai Hiri.

Kemudian yang kelima adalah Ottapa (atau dalam bahasa Sanskritnya “Atrapya”) yaitu suatu perasaan malu kepada orang atau mereka yang di luar diri kita. Misalnya kalau saya melakukan ini, bagaimana penilaian orang lain? Mereka pasti akan bilang “Wah si itu, padahal dia rajin tiap minggu pergi ke Kemang, tapi perbuatannya…,” pikiran-pikiran itu muncul sebelum kita berbuat sesuatu, itu berarti ada perasaan malu kepada orang lain. Ingin melakukan sesuatu kemudian terpikir “Ini tidak baik secara spiritual juga tidak pantas secara duniawi, saya tidak akan melakukannya,” ini namanya perasaan malu kepada orang lain sebagai harta berikutnya dari para Arya. Bila kita memiliki kedua macam perasaan ini berarti kita memiliki harta para Arya tetapi bila tidak berarti kita tidak memiliki harta para Arya.

Kemudian Srotra (mendengar), mendengar ajaran, belajar Dharma. Di zaman dulu lebih banyak ajaran yang dipelajari dengan cara mendengar. Sampai sekarang mendengar juga lebih efektif dibandingkan dengan membaca. Kalau Anda memiliki buku Dharma dan membacanya, belum tentu sejam membaca ada 20% yang meresap ke dalam dasar kesadaran, karena daya serap melalui mata kalah dengan daya serap melalui telinga. Jadi dalam hal ini Srotra artinya mendengar atau belajar Dharma. Belajar Dharma akan menyebabkan kita menjadi orang yang tahu akan kebajikan dan tahu akan kebijaksanaan. Semua praktik Dharma berasal dari mendengar dan belajar. Para Guru Kadampa mengatakan, bagaimana orang akan praktik bila teorinya saja tidak tahu, bagaimana orang bisa beribadah bila cara ibadahnya saja tidak tahu.

Misalnya, “Anda hari minggu berkemas-kemas mau ke mana?”

“Mau retret ke gunung.”

“Retret apa?”

“Retret Arya Tara.”

Tetapi sampai di gunung tidak tahu bagaimana cara retretnya, mungkin melafal, mungkin meditasi, mungkin diam saja, dan sebagainya. Itu menunjukkan kurangnya belajar Dharma.

Belajar Dharma merupakan harta dari para Arya karena dari belajar itulah akan ada kebajikan dan kebijaksanaan, dan dari kebijaksanaan akan ada realisasi-realisasi Sunyata, Bodhisattva, realisasi Samadhi, Samatha dan Vipashana, itu semua berasal dari belajar. Sebaiknya setiap orang yang berminat pada praktik spiritual menyisihkan waktunya untuk belajar; jadi belajar diberi waktu tersendiri, apakah pada saat mau tidur, hari Minggu, Che-it atau Cap-go, atau pada saat bangun tidur. Di antara waktu kita 24 jam setiap hari, di antara satu bulan waktu kita, di antara satu tahun waktu kita, harus disediakan waktu secara khusus untuk belajar karena dengan demikian pengetahuan seseorang akan bisa dibuat progresif, misalnya bulan ini saya belajar mengenai keyakinan, bulan depan mengenai sila, bulan depannya lagi mengenai samadhi, bulan depan mengenai Bodhicitta, Bodhisattva, dan seterusnya. Jangan seumur hidup yang dibaca Dhammpada melulu, hari Sabtu Dhammpada, hari Minggu Dhammpada, juga tidak jelas konteksnya apakah konteks meditasi, kebajikan atau yang lain. Jadi belajar Dharma merupakan kegiatan yang dianggap sebagai harta para Arya karena dengan Dharma kita berpengetahuan, dengan pengetahuan kita memiliki kebajikan, dengan kebajikan kita memiliki kebahagiaan, keberuntungan dan sebagainya.

Yang terakhir (ketujuh) adalah Prajna (kebijaksanaan). Seseorang juga harus memiliki kebijaksanaan dalam hatinya. Kebijaksanaan ada dua macam, yaitu kebijaksanaan duniawi dan kebijaksanaan hakiki (kebenaran duniawi dan kebenaran adi duniawi atau kebenaran yang bersifat sementara dan kebenaran yang hakiki). Kita harus memiliki kebijaksanaan dalam diri kita untuk menjadi orang mulia di dunia ini maupun menjadi seorang Arya di kemudian hari. Bila seseorang tidak mengembangkan kebijaksanaan maka ia tidak akan menjadi orang yang bijaksana baik secara duniawi maupun hakiki. Bila kita mengerti mengenai esensi kebijaksanaan yang dua macam tadi maka kita telah memiliki harta para Arya.

Guru Nagarjuna pada bagian berikutnya di Suhrllekha mengatakan bahwa bila kita ingin mengembangkan tujuh hal ini yaitu tujuh harta para Arya (Sapta Aryadana), ada yang akan merintangi kita yaitu hal-hal yang menyebabkan kemerosotan kelahiran kita di kemudian hari. Jadi bila kita sudah meninggal, reinkarnasi kita akan terintangi untuk naik ke atas (yang lebih luhur dari situasi kita sekarang) dan akan menyebabkan reputasi duniawi kita buruk, di antaranya adalah hal-hal yang disebut sebagai rintangan tujuh harta para Arya:

Yang pertama (menurut Guru Nagarjuna) adalah gemar berjudi. Pada zaman sekarang judi dianggap sebagai bagian dari budaya hidup oleh sudut pandang duniawi kita dan itu diterima oleh masyarakat internasional sehingga banyak tempat yang secara resmi dijadikan sebagai tempat berjudi, tetapi bagi seorang praktisi spiritual yang ingin kelahirannya nanti lebih tinggi, Guru Nagarjuna mengatakan “Jangan berjudi!” karena judi menyebabkan kemungkinan jatuh ke situasi hidup yang lebih buruk, dan orang yang gemar berjudi tidak akan dapat mengadaptasi satu pun dari harta para Arya. Tidak mungkin satu sisi seseorang profesional penjudi, di sisi lain profesional tujuh harta para Arya, tidak mungkin. Jadi dengan demikian Guru Nagarjuna menyatakan bahwa rintangan pertama adalah berjudi.

Yang kedua adalah gemar menghadiri pertunjukan.

Yang ketiga adalah gemar berbicara terlalu banyak, berbicara sampai berjam-jam dengan subjek yang tidak jelas, dengan hasil yang tidak berarti secara duniawi maupun spiritual. Pembicaraan-pembicaraan mengenai politik, seni, kebudayaan, hiburan, percintaan, ekonomi, dan sebagainya; bukannya tidak boleh, boleh saja tetapi waktunya harus diketahui, bila berlarut-larut sampai lebih dari dua jam maka dianggap sebagai suatu kegiatan yang tidak berguna atau lebih banyak klesha keterikatannya terhadap pembicaraan yang tidak berguna.

Berikutnya adalah pergaulan yang menimbulkan berkobarnya emosi-emosi dan pandangan salah, misalnya kita melibatkan diri dengan teman-teman yang punya emosi negatif misalnya mudah marah-marah, mudah mencela atau mendiskreditkan orang lain, kalau kita membiasakan diri dengan mereka maka lama-lama kita menjadi terbiasa dengan kalimat-kalimatnya dan kita juga akan ikut melakukannya. Bergaul dengan yang buruk, yang tidak peduli hari Uposatha, tidak peduli Che-it Cap-go, tidak peduli berbuat kebajikan, dengan demikian waktu kita juga menjadi berlalu tanpa diisi dengan apa pun. Itu yang disebut dengan pergaulan yang tidak baik, bila kita melibatkan diri dalam lingkungan itu maka bukan hal baik yang muncul atau berkembang tetapi malah hal yang negatif, itu yang disebut pergaulan yang merusak.

Kemudian suka mabuk-mabukan atau minum minuman keras, estacy dan segala macam yang membuat kecanduan, itu juga penyebab kelahiran dan reputasi kita yang buruk.

Kemudian keluyuran di malam hari, Guru Nagarjuna menyatakan itu juga sebagai sebab kelahiran yang kurang bagus dan juga reputasi yang buruk. Misalnya, di antara kita ada yang gemar ke Hardrock Cafe atau tempat-tempat hiburan yang lain, dan sering bertemu dengan orang lain sehingga orang berkata, “Tahu tidak, orang itu aktif sekali di Bhumisambhara, di Kemang, tapi kalau malam nongkrongnya di cafe dengan teman yang macam-macam, saya lihat dia karoeke semalaman, saya lihat dia nongkrong di cafe ini hari ini besok di cafe sana, lusa di cafe Bogor, lusa lagi di Bandung, Anyer, lusanya di mana lagi.” Menurut Guru Nagarjuna, itu meruntuhkan reputasi kita sebagai seorang praktisi. Tidak salah orang mencari hiburan tetapi harus dimengerti bahwa akan ada efek sosialnya. Kalau kita ingin menjadi seorang praktisi yang maju maka kita harus membatasi diri, merelakan hal-hal yang tidak perlu tapi bila kita sulit merelakan maka kita harus menunda tujuan menjadi praktisi karena tidak bisa mendayung dua sampan secara serentak dengan kaki kanan di sampan spiritual sedangkan kaki kiri di sampan duniawi, nanti bisa jatuh dan tenggelam. Jadi Guru Nagarjuna menyatakan bahwa keluyuran di malam hari adalah sebab dari keruntuhan kita, keruntuhan reputasi sebagai seorang praktisi spiritual juga membuka jalan bagi kelahiran yang rendah.

Jadi ini adalah penjelasan dari Tujuh Harta Para Arya. Memperjuangkan tujuh harta para Arya adalah suatu kesempatan yang sebaiknya tidak dilewatkan mengingat bahwa semua perjuangan yang lain nantinya akan tertinggal. Sehari orang bisa bekerja 24 jam untuk menimbun harta duniawi, orang bisa merancang berbagai macam strategi untuk menimbun sebanyak-banyaknya keuntungan, kekayaan dan sebagainya, tetapi ingat bahwa semua itu nanti akan menjadi milik orang lain, menjadi warisan keluarga kita, menjadi milik keluarga kita. Yang kita bawa adalah bagian-bagian tertentu darinya yang kita amalkan (yang kita lakukan sebagai dana), selebihnya kita tidak akan memiliki apa pun. Ini diucapkan sendiri oleh Guru Atisha, seorang pangeran yang memiliki warisan istana. Demikian juga dengan Guru Arya Asangha, beliau berucap di depan muridnya, “Setelah saya meninggalkan istana dan hidup sebagai praktisi Mahayana, kalau ingatan-ingatan terhadap kenyamanan istana muncul maka harus berpikir sama seperti ingus yang sudah dibuang di jalanan, tidak perlu disesali lagi.” Para Guru masa lalu dengan situasi dan kesanggupannya yang luar biasa telah mengadaptasi sedemikian rupa bahkan istana pun ditinggalkannya, sedangkan kita tidak perlu meninggalkan istana kita, tidak perlu meninggalkan rumah kita, keluarga, pekerjaan, bisnis kita, cukup kita tahu saja bahwa yang kita perjuangkan itu nanti akan menjadi milik orang lain dan bila kita tidak memperjuangkan tujuh harta para Arya maka kita akan pergi dengan tangan hampa 100%. Kita tidak punya sraddha, tidak punya sila, dana, hiri, ottapa, srotra dan prajna. Apa yang kita punya? Tidak ada kecuali ketidakbajikan.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *